Senin, 08 September 2008

KELUARGA BERKUALITAS, SEPERTI APA?

KELUARGA BERKUALITAS, SEPERTI APA?


Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencanangkan sebuah konsep dan visi baru ”Keluarga Berkualitas 2015” pada tahun 2000.


Itu pengembangan dari yang sebelumnya, ”Norma Keluarga Kecil, Bahagia, Sejahtera” (NKKBS) yang memakai pendekatan demografis semata. Visi baru menetapkan sasaran, ”menciptakan” keluarga kecil yang berkualitas.

Seperti apa?
Saat itu hari menjelang petang. Tanah di pekarangan depan rumah masih basah oleh air bekas hujan. Setelah menyedot rokok kreteknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya membentuk bulatan kecil-kecil di udara, kakek duduk bersilang kaki di teras rumah melanjutkan petuahnya sambil terbatuk kecil, ”Le, jadi orang itu enggak usah ngoyo. Sing penting kowe tak dongakke besuk yen gedhe biso dadi wong.” Jalani saja hidup ini tanpa harus memaksa diri, yang penting besok kalau sudah besar bisa jadi orang, begitu kira-kira artinya.
Yang diberi petatah-petitih cuma manggut-manggut. Buat anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, wejangan kakek tidak gampang dicerna. Abstrak. Kala itu satu hal yang dipahami, itu pasti petuah bijak.

Ketika sudah beranjak agak dewasa, yang dia lihat di sekelilingnya lain praktiknya dengan wejangan kakek. Apalagi kalau melihat Keluarga Gunardi (bukan nama sebenarnya), tetangga sebelah selisih tiga rumah. Suami-istri sama-sama bekerja. Malah Pak Gunardi baru pulang kalau sudah larut malam. Begitu hampir setiap hari. Rumahnya bagus, mobilnya dua. Ketiga anaknya semua bersekolah. Ia makin tidak mengerti.

”Kata mendiang kakek dulu, orang hidup jangan memaksa diri. Yang penting nanti bisa jadi orang. Bukankah Keluarga Gunardi itu sudah jadi orang: punya rumah bagus, punya mobil, anak-anak terjamin pendidikannya, tapi hidup mereka sehari-hari kelihatan seperti memaksa diri sampai dibela-belain suami-istri bekerja, bahkan pulangnya sampai malam-malam,” pikirnya.

Satu kepala dua wajah
Orang hidup itu, kata kakek juga, sawang-sinawang. Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Kalau hanya dilihat dari luar, secara fisik-material, Keluarga Gunardi tampak mulyo, hidup enak-kepenak serba berkecukupan. Tetapi apakah keluarga itu juga merasakan semua hal seperti yang dinilaikan orang terhadap mereka? Belum tentu.

Kalau tolok ukurnya sekadar materi, barangkali Keluarga Gunardi bisa dianggap sebagai keluarga yang berhasil. Namun keberhasilan itu pun masih relatif. Sebab, di ujung jalan yang sama, tinggal Keluarga Gunawan Adisaputra (juga bukan nama sebenarnya), seorang pedagang elektronik di kawasan Kota, yang sukses. Rumahnya bertingkat dua setengah, mobilnya tiga biji, salah satunya tergolong mobil mewah, terlebih bagi kebanyakan warga di jalan itu. Sebuah antena parabola seukuran sembilan kaki mencuat dari bagian belakang rumahnya. Begitu seterusnya, kalau Keluarga Gunawan dibandingkan lagi dengan keluarga lain yang lebih sukses di tempat lain. Di atas langit masih ada langit.

Dari kacamata materi (baca: kondisi ekonomi) saja, kedua keluarga itu bisa dibilang sama-sama keluarga berhasil. Lantas keluarga macam mana dianggap tidak atau belum berhasil? Barangkali - ambil contoh ekstrem - termasuk Keluarga Noyo, yang bersama istri dan keempat anaknya tinggal di sebuah gubuk di bantaran kali. Dengan penghasilan tak seberapa sebagai pengayuh becak, keluarga ini hanya sanggup makan sehari satu kali. Keempat anaknya mogol sekolah karena tak punya biaya.

Dari situ saja mudah ditebak kalau Keluarga Noyo tergolong keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, mengingat mereka belum mampu memenuhi kebutuhan dasar minimalnya mulai dari pangan, sandang, hingga papan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggolongkan kelompok ini sebagai keluarga prasejahtera. Mereka tidak sendiri karena secara nasional jumlah kelompok ini diperkirakan mencapai 19,4% sebelum krisis (1997), dan membengkak menjadi 23,2% di waktu krisis (1999/2000).

Itu masih belum seberapa. Jika jumlah itu ditambah dengan kelompok keluarga sejahtera I - yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimalnya tapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologis seperti pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi - jumlahnya menjadi 54% pada tahun 2000! Fantastik.

Memprihatinkan memang, apalagi kalau mengingat keadaan itu berpotensi menimbulkan berbagai kerawanan sosial.
Dalam konteks keluarga, seperti disebut Imam Hariyadi, deputi bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, BKKBN, disfungsi keluarga dikhawatirkan merebak dan menjadi kenyataan seperti hasil penelitian yang dilakukan LPKGM-UGM, Yogyakarta pada Februari 2001 di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian itu membeberkan bahwa keluarga tak lagi menjadi tempat yang aman bagi anggotanya. Wah!

”Rasa tak aman tinggal dalam keluarga merupakan salah satu indikasi awal bakal terjadinya disharmoni keluarga dan rapuhnya ketahanan dalam keluarga,” ungkap Imam Hariyadi. Padahal disadari, ketahanan keluarga makin penting ketika konflik antaretnik, agama, dan golongan cenderung makin bereskalasi.

Dari media massa kita bisa menyaksikan perkelahian atau tawuran antarpelajar, konflik politik, dan konflik berbasis SARA. Timbul kondisi yang kurang menguntungkan dalam keluarga, akibat meningkatnya angka perceraian dan terjadinya tindak kekerasan dalam keluarga. Kita juga bisa merasakan kecenderungan remaja yang mulai lekat dengan perilaku kehidupan bebas tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan agama. Masih banyak lagi yang bisa dicatat.

Sampai-sampai Prof. Dr. Winarno Surakhmad dalam suatu kesempatan - seperti dikutip Hariyadi - melontarkan pertanyaan, ”Benarkah bangsa ini tengah membangun di atas peradaban yang runtuh? Bukankah dari dulu kita dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi? Bukankah sejak dan selama merdeka, pada kita telah ditanamkan nilai-nilai berbangsa yang luhur dalam sebuah ideologi?”

”Sekarang persepsi positif itu sedang ditantang. Bahkan ditentang. Mengapa tiba-tiba di balik kebesaran itu muncul wajah yang begitu buruk dan antiperadaban? Apakah memang manusia Indonesia menyimpan kemampuan untuk sesaat muncul sebagai Dr. Jekyll, dan sesaat kemudian tampil sebagai Mr. Hyde?” ungkap Surakhmad, direktur The Alghazali Foundation, Education Consortium for Innovation and Quality Assessment (ECIQA).

Pertanyaannya kemudian, apakah itu merupakan indikasi gagalnya pendidikan (termasuk dalam keluarga) dalam membawa anak bangsa ke sebuah kehidupan yang lebih baik? Boleh saja kita mempertanyakan sejauh mana para pemimpin telah berhasil memberikan keteladanan, yang tak pelak memegang peran yang signifikan dalam suatu masyarakat patriarkhal. Namun terlepas dari itu, pendekatan pendidikan formal dan dalam keluarga tetap masih sahih untuk meningkatkan kualitas manusia, yang notabene anggota sebuah keluarga.

Konsep ”Keluarga Berkualitas”
Konsep keluarga kecil, bahagia, sejahtera (NKKBS) memang telah menjadi trade mark program Keluarga Berencana (KB) sejak dicanangkan pada 1970. Akan tetapi sasarannya lebih pada aspek demografis, yaitu menekan laju pertumbuhan penduduk. Kondisi kependudukan saat itu memang sangat mengkhawatirkan. Laju pertumbuhannya 2,34% dengan sekitar 5,6 kelahiran hidup per wanita. Rata-rata usia kawin di bawah 16 tahun.

Sasaran itu tercapai setelah program berjalan sekitar 30 tahun. Secara nasional angka kelahiran (total fertility rate, TFR) sudah mencapai angka 2,5. Bahkan di beberapa daerah, termasuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sudah mendekati angka 2 (1997). Artinya, setiap wanita Jakarta hanya melahirkan rata-rata dua anak. Pertumbuhan penduduk menurun sampai 1,35%. Kini negeri kita dihuni sekitar 207 juta warga (Biro Pusat Statistik; hasil sensus penduduk tahun 2000).

Sebuah prestasi yang mendapat pengakuan dunia lewat penghargaan di bidang kependudukan pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto.

Dari fakta itu tampak, kesadaran sebagian besar keluarga Indonesia untuk memiliki keluarga kecil (cukup dua anak, laki-laki atau perempuan sama saja) telah melembaga. Namun diakui, visi keluarga kecil belum dirasa cukup kalau aspek kualitas tidak disentuh. Yang ideal, tentu saja, keluarga kecil tapi berkualitas. Apalagi arus globalisasi - ibu kandung berbagai keterbukaan dan persaingan global di segala bidang - semakin tidak terbendung. Keluarga yang berkualitas menjadi kunci bagi sebuah bangsa untuk ikut berbicara dalam persaingan global di masa depan.

Sebagai salah satu anggota yang ikut menandatangani deklarasi International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada 1994, Indonesia terikat pada seluruh isi dari setiap rekomendasi dan rencana aksi yang dikeluarkan. Di bidang reproduksi, termasuk keluarga berencana dan kesehatan seksual, terjadi jurang perbedaan antara proporsi pemakai kontrasepsi dengan proporsi individu atau pasangan yang tidak menginginkan penundaan atau pembatasan anak. Untuk itu setiap negara anggota harus berupaya menutupi gap itu sedikitnya 50% sampai tahun 2005, 75% sampai dengan tahun 2010, dan 100% sampai dengan tahun 2015.

Atas dasar semua itu BKKBN melakukan reorientasi dan reposisi dengan visi baru, ”Keluarga Berkualitas 2015” yang dicanangkan sejak tahun 2000. ”Tujuannya menyiapkan keluarga, penduduk, masyarakat yang maju, mandiri dan berketahanan agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Orientasinya tidak lagi sekadar pendekatan demografis,” demikian Imam Hariyadi.

”Keluarga Berkualitas”, menurut definisi versi baru BKKBN, ialah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejahtera berarti sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehat mencakup sehat jasmani, rohani, dan sosial. Maju bermakna memiliki keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri dan keluarganya guna meningkatkan kualitasnya. Berjiwa mandiri diartikan memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku tidak tergantung pada orang lain.

Kemudian jumlah anak ideal ialah jumlah anak dalam keluarga yang diinginkan dan dianggap sesuai dengan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial. Berwawasan berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat secara sosial. Harmonis mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi di antara semua anggota keluarga. Yang terakhir, bertakwa berarti taat beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya.

Perlu indikator universal
Sebuah cita-cita yang sangat ideal kedengarannya namun menyimpan sejumlah kelemahan. Seperti diungkap Yulfita Raharjo (peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI), mestinya ada sejumlah indikator objektif yang bisa diukur dan diaplikasikan secara seragam (bahkan universal). Misalnya, status kesehatan, tingkat pendidikan, akses terhadap air bersih atau fasilitas publik. Sedangkan harmonis dan bertakwa yang lebih bersifat individual sulit diukur. Dia mengajukan usul, konsep keluarga berkualitas seyogianya diberi indikator yang bersifat universal dan terukur seperti itu tetapi tetap memberi ruang bagi keunikan dan kebiasaan setempat.

Yulfita Raharjo juga menyarankan, selain indikator objektif-ideal juga dikembangkan indikator subyektif yaitu seperti apa yang dipahami oleh individu. Misalnya, apa yang dimaksud dengan ”cukup”, ”rasa takut”, ”harmonis”, ”anak”, dsb. Pengembangan indikator ini, demikian Yulfita, sangat bermakna terutama jika dikombinasikan dengan indikator objektif-ideal demi pengembangan program (kesejahteraan keluarga) sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Kami tidak berpretensi untuk mengklaim bahwa apa yang kami sajikan itu interpretasi yang paling sahih. Jika diperas, semua itu cuma upaya mendekati harapan si kakek terhadap cucunya agar kelak ketika dewasa menjadi ”orang”. Barangkali Anda nanti bisa membantu menilai, itukah yang dimaksud kakek?
(idionline/Net)

Definisi dan Arti Organisasi - Organisasi Formal dan Informal - Belajar Online Lewat Internet Ilmu Manajemen

Pengertian, Definisi dan Arti Organisasi - Organisasi Formal dan Informal - Belajar Online Lewat Internet Ilmu Manajemen
Thu, 29/06/2006 - 5:37pm — godam64
A. Arti Istilah Organisasi

1. Organisasi Menurut Stoner
Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama.

2. Organisasi Menurut James D. Mooney
Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.

3. Organisasi Menurut Chester I. Bernard
Organisasi merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

B. Penertian / Definisi Organisasi Informal dan Organisasi Formal

1. Organisasi Formal
Organisasi formal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang mengikatkan diri dengan suatu tujuan bersama secara sadar serta dengan hubungan kerja yang rasional. Contoh : Perseroan terbatas, Sekolah, Negara, dan lain sebagainya.

2. Organisasi Informal
Organisasi informal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang telibat pada suatu aktifitas serta tujuan bersama yang tidak disadari. Contoh : Arisan ibu-ibu sekampung, belajar bersama anak-anak sd, kemping ke gunung pangrango rame-rame dengan teman, dan lain-lain.

Tambahan :
Situs ini bernama Organisasi.Org selain agar mudah diingat juga kami ingin menjadi organisasi yang solid untuk mencapai tujuan bersama yang berguna bagi nusa dan bangsa :)


Keyword: organisasi, manajemen, manfaat organisasi


Mari kita berorganisasi. Semua perlu diorganisasikan. Bagaimana cara kita mengorganisasi? Nah, sebenarnya, apakah organisasi itu?


Banyak sekali perbincangan yang mengatasnamakan organisasi, namun beberapa dari kita mungkin hanya mengetahui, oh ini loh organisasi. Hanya sekedar itukah? Baik, mari kita rangkum dalam tulisan berikut ini.


Organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu pengaturan orang-orang yang sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa pengaturan tersebut sudah kita ketahui terjadi di banyak bidang. Misal pada instansi sekolah, pemerintahan, kampus, bank. Semua dapat kita jumpai sehari-hari.


Terdapat empat karakteristik utama dari sebuah organisasi, yaitu: tujuan, kumpulan orang, struktur, sistem dan prosedur.


Tujuan

Setiap organisasi harus memiliki tujuan. Tujuan dicerminkan oleh sasaran-sasaran yang dilakukan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tiga bidang utama dalam tujuan organisasi yaitu profitability (keuntungan), growth (pertumbuhan), dan survive (bertahan hidup). Ketiganya harus berjalan berkesinambungan demi kemajuan organisasi.


Kumpulan Orang

Jelas, tidak mungkin jika organisasi hanya terdiri dari satu orang yang ingin mencapai tujuannya sendiri. Dari definisi dijelaskan bahwa organisasi setidaknya terdiri dari kumpulan orang, berarti minimal dua, yang memiliki tujuan bersama.

Struktur

Struktur dibentuk dalam sebuah organisasi dengan tujuan agar posisi setiap anggota organisasi dapat dipertanggungjawabkan, mengenai hak maupun kewajibannya. Struktur dibentuk agar organisasi berjalan rapi, karena terdapat struktur komando, siapa yang berwenang dan siapa yang diberi wewenang.


Sistem dan Prosedur

Karakteristik yang terakhir ini menggambarkan bahwa sebuah organisasi diatur berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama dan tentu saja harus dengan penuh komitmen dalam menjalankannya. Implementasi dari sistem dan prosedur ini ialah adanya ketetapan mengenai tata cara, sistem rekrut, dan birokrasi.


Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap eksistansi suatu organisasi. Organisasi cenderung memainkan peran menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, entah itu demografi, ekonomi, politik, budaya, juga alam sekitar. Jadi, kemajuan organisasi harus selaras dengan perubahan lingkungan.



Beberapa manfaat organisasi yaitu:

1. Organisasi sebagai penuntun pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan akan lebih efektif dengan adanya organisasi yang baik.

2. Organisasi dapat mengubah kehidupan masyarakat. Contoh dari manfaat ini ialah, jika organisasi bergerak di bidang kesehatan dapat membentuk masyarakat menjadi dan memiliki pola hidup sehat. Organisasi Kepramukaan, akan menciptakan generasi mudah yang tangguh dan ksatria.

3. Organisasi menawarkan karier. Karier berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan. Jika kita menginginkan karier untuk kemajuan hidup, berorganisasi dapat menjadi solusi.

4. Organisasi sebagai cagar ilmu pengetahuan. Organisasi selalu berkembang seiring dengn munculnya fenomena-fenomena organisasi tertentu. Peran penelitian dan pengembangan sangat dibutuhkan sebagai dokumentasi yang nanti akan mengukir sejarah ilmu pengetahuan

Guru Profesional: Untuk Pendidikan Bermutu

Guru Profesional: Untuk Pendidikan Bermutu
Oleh : H. Mohamad Surya
Istilah “profesi” sudh cukup dikenal oleh semua pihak, dan senantiasa melekat pada “guru” karena tugas guru sesungguhnya merupakan suatu jabatan professional. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat, berikut ini akan dikemukakan pengertian “profesi” dan kemudian akan dikemukakan pengertian profesi guru. Biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetepi memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan khusus untuk itu. Ada beberapa istilah lain yang dikembangkan yang bersumber dari istilah “profesi” yaitu istilah professional, profesionalisme, profesionalitas, dan profesionaloisasi secara tepat, berikut ini akan diberikan pengkelasan singkat mengeni pengertian istilah0istilah tersebut.
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Penyandangan dan penampilan “professional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedang secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi. Sebagai contoh misalnya sebutan “guru professional” adalah guru yang telah mendapat pengakuan secara formal berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik dalam kaitan dengan jabatan ataupun latar belakang pendidikan formalnya. Pengakuan ini dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijazah, akta, sertifikat, dsb baik yang menyangkut kualifikasi maupun kompetensi. Sebutan “guru professional” juga dapat mengacu kepada pengakuan terhadap kompetensi penampilan unjuk kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, sebutan “profesional’’ didasarkan pada pengakuan formal terhadap kualifikasi dan kompetensi penampilan unjuk kerja suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa: “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”.
“Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional.
“Profesionalitas” adalah sutu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai sehingga mampu melaksanakantugasnya secara efektif.
“Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan profesionalisasi, para guru secara bertahap diharapkan akan mencapai suatu derajat kriteria profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan menurut Undang-undang nomer 14 tahun 2005 yaitu berpendidikan akademik S-1 atau D-IV dan telah lulus Sertifikasi Pendidikan. Pada dasarnya profesionalisasi merupakan sutu proses berkesinambungan melalui berbagai program pendidikan dalam jabatan (in-service).
“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.
Di samping dengan keahliannya, sosok professional guru ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, Negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.
Ciri profesi yang selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Kesejawatan ini diwujudkan dalam persatuan para guru melalui organisasi profesi dan perjuangan, yaitu PGRI. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan martabat diri dan profesinya di atas, pada dasarnya telah tersirat dalam kode Etik Guru Indonesia sebagai pegangan professional guru.
Sementara itu, para guru diharapkan akan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas professional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi intrinsic pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut :
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
Berdasarkan kriteria ini, jelas bahwa guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar yang ideal. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada figur yang dipandang memiliki standar ideal. Yang dimaksud dengan “standar ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perlaku profesional. Citra profesi adalah suatu gambaran terhadap profesi guru berdasarkan penilaian terhadap kinerjanya. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara misalnya penampilan, cara bicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari-hari, hubungan antar pribadi, dsb.
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampiannya.
Berdasarkan kriteria ini para guru diharapkan selalu berusaha mencari dan memanfaatkan kesempatan yang dapat mengembangkan profesinya. Berbagi kesempatan yang dapat dimanfaatkan antara lain:
(a) mengikuti kegiatan ilmiah misalnya lokakarya, seminar, symposium, dsb.,
(b) mengikuti penataran atau pendidikan lanjutan,
(c) melakukan penelitian dan pengabdian dana masyarakat,
(d) menelaah kepustakaan, membuat karya ilmiah,
(e) memasuki organisasi profesi (misalnya PGRI).
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi
Profesionalisme ditandai kualitas derajat rasa bangga akan profesi yang dipegangnya. Dalam kaitan ini diharapkan agar para guru memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya. Rasa bangga ini ditunjukkan dengan penghargaan akan pengalamannya di masa lalu, dedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya sekarang, dan keyakinan akan potensi dirinya bagi perkembangan di masa depan.
Dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional sebagai berikut :
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism
b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya
c. Memiliki kompetensis yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
d. Mematuhi kode etik profesi
e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
g. Memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan
h. Memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
Memiliki organisasi profesi yang berbadan hokum
Undang-undang Guru dan Dosen sebagai peluang dan tantangan
Dikaitkan dengan proteksi hak azasi dan profesi guru, undang-undang guru sangat diperlukan dengan tujuan : (1). Mengangkat harkat citra dan martabat guru, (2). Meningkatakan tanggung jawab profesi guru sebagai profesi pengajar, pendidik, pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3). Memberdayakan dan mendayagunakan profesi guru secara optimal, (4). Memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru, (5). Meningkatakan mutu pelayanan dan hasil pendidikan, (6). Mendorong peran serta masyarakat dan kepedulian terhadap guru. Setelah melalui perjuangan panjang selama lima tahun sejak 1999, dengan melampaui empat presiden dan empat menteri pendidikan, saat ini UU Guru telah disahkan menjadi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kelahiran Undang-undang Guru ini merupakan payung dan landasan hukum bagi terwujudnya guru professional, sejahtera, dan terlindungi. Pada gilirannya akan terwujud kinerja guru professional dan sejahtera demi terwujudnya pendidikan nasional yang bermutu dalam rangka pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Undang-undang ini memberikan landasan kepastian hokum yang untuk perbaikan guru di masa depan khususnya yang berkenaan dengan profesi, kesejahteraan, jaminan social, hak dan kewajiban, serta perlindungan. Beberapa substansi RUU Guru yang bernilai “pembaharuan” untuk mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan :
(1). Kualifikasi dan kompetensi guru : yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.
(2). Hak guru : yang berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait tugasnya sebagai guru. (Pasal 15 Ayat )
(3). Kewajiban guru ; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.
(4). Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga yang terpadu.
(5). Perlindungan; guru mendapat perlindungamn hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
(6). Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk meningkatkan kompetisi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteran dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
Sertifikasi sebagai realisasi
Dengan lahirnya undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, maka prospek guru di masa mendatang sebgai guru yang professional, sejahtera, dan terlindungi. Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik (pasal 2 dan 3). Sebagai guru professional disyaratkan para guru wajib memilki: (1) kualifikasi akademik sarjana atau diploma IV, (2) Kompetensi Pedagogik, kepribadian, social dan professional, (3) sertifikat pendidik, (4) sehat jasmani dan rohni, (5) kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8 s/d 12). Sehubungan dengan persyratan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tersebut, maka guru wajib memilki sertifikat pendidik sebagai bukti formal sebagai tenaga professional. Sertifikat pendidikan diperoleh melalui sertifikasi pendidik bagi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memilki program tenaga kegandaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah (pasal 11 ayat 2). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan dan mewujudkan profesionalitas guru sekurang-kurangnya ada tiga ahal yang saling terkait yaitu kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru.
Berkenaan dengan kualifikasi akademik guru, dalam pasal tiga RPP guru dinyatakan sebagai berikut: “kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditunjukan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidi pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang dia punya sesuai standar Nasional pendidikan”. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui program pendidikan formal sarjana (S1) atau program p[endidikan diploma empat (D-IV) pada perguruan tinggi yang memilkimprogram pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau perguruan tinggi nonkependidikan yang terakreditasi.
Selanjutnya berkenaan dengan kompetensi, diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimilki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksnakan tugas keprefosionalan. Kompetensi guru kompetensi pedagogic, kopetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan, dan pengalaman professional. Untuk mewujudkan guru professional melalui sertifikasi ditempuh melalui pendidikan profesi. Pendidikan profesi terdiri atas dua bentuk yaitu pendidikan profesi bagi calin guru dan pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan yang dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Peratuaran Menteri Pendidiakan Nasional
Sambil menunggu keluarnya peraturan pemerintah tentang guru, Menteri Pendidikan akan mengeluarkan peraturan menteri nomor 18 tahun 2007 yang berisi kebijakan mengenai sertifikasi guru. Berdasarkan peraturan tersebut, sertifikasi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio yaitu pengakuan atas pengalaman professional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: (a) kualifi9kasi akademik, (b) pendidikan dan pelatiahan, (c) pengalaman mengajar, (d) perencanan dan pelaksanaan pembelajaran, (e) penilaian dari atasan dan pengawas, (f) prestasi akademik, (g) karya pengenbangan profesi, (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (i) penglaman organisasi dibidang kependidikan dan social, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
-----------------
Wallahu 'alam bisawab