Senin, 08 September 2008

KELUARGA BERKUALITAS, SEPERTI APA?

KELUARGA BERKUALITAS, SEPERTI APA?


Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencanangkan sebuah konsep dan visi baru ”Keluarga Berkualitas 2015” pada tahun 2000.


Itu pengembangan dari yang sebelumnya, ”Norma Keluarga Kecil, Bahagia, Sejahtera” (NKKBS) yang memakai pendekatan demografis semata. Visi baru menetapkan sasaran, ”menciptakan” keluarga kecil yang berkualitas.

Seperti apa?
Saat itu hari menjelang petang. Tanah di pekarangan depan rumah masih basah oleh air bekas hujan. Setelah menyedot rokok kreteknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya membentuk bulatan kecil-kecil di udara, kakek duduk bersilang kaki di teras rumah melanjutkan petuahnya sambil terbatuk kecil, ”Le, jadi orang itu enggak usah ngoyo. Sing penting kowe tak dongakke besuk yen gedhe biso dadi wong.” Jalani saja hidup ini tanpa harus memaksa diri, yang penting besok kalau sudah besar bisa jadi orang, begitu kira-kira artinya.
Yang diberi petatah-petitih cuma manggut-manggut. Buat anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, wejangan kakek tidak gampang dicerna. Abstrak. Kala itu satu hal yang dipahami, itu pasti petuah bijak.

Ketika sudah beranjak agak dewasa, yang dia lihat di sekelilingnya lain praktiknya dengan wejangan kakek. Apalagi kalau melihat Keluarga Gunardi (bukan nama sebenarnya), tetangga sebelah selisih tiga rumah. Suami-istri sama-sama bekerja. Malah Pak Gunardi baru pulang kalau sudah larut malam. Begitu hampir setiap hari. Rumahnya bagus, mobilnya dua. Ketiga anaknya semua bersekolah. Ia makin tidak mengerti.

”Kata mendiang kakek dulu, orang hidup jangan memaksa diri. Yang penting nanti bisa jadi orang. Bukankah Keluarga Gunardi itu sudah jadi orang: punya rumah bagus, punya mobil, anak-anak terjamin pendidikannya, tapi hidup mereka sehari-hari kelihatan seperti memaksa diri sampai dibela-belain suami-istri bekerja, bahkan pulangnya sampai malam-malam,” pikirnya.

Satu kepala dua wajah
Orang hidup itu, kata kakek juga, sawang-sinawang. Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Kalau hanya dilihat dari luar, secara fisik-material, Keluarga Gunardi tampak mulyo, hidup enak-kepenak serba berkecukupan. Tetapi apakah keluarga itu juga merasakan semua hal seperti yang dinilaikan orang terhadap mereka? Belum tentu.

Kalau tolok ukurnya sekadar materi, barangkali Keluarga Gunardi bisa dianggap sebagai keluarga yang berhasil. Namun keberhasilan itu pun masih relatif. Sebab, di ujung jalan yang sama, tinggal Keluarga Gunawan Adisaputra (juga bukan nama sebenarnya), seorang pedagang elektronik di kawasan Kota, yang sukses. Rumahnya bertingkat dua setengah, mobilnya tiga biji, salah satunya tergolong mobil mewah, terlebih bagi kebanyakan warga di jalan itu. Sebuah antena parabola seukuran sembilan kaki mencuat dari bagian belakang rumahnya. Begitu seterusnya, kalau Keluarga Gunawan dibandingkan lagi dengan keluarga lain yang lebih sukses di tempat lain. Di atas langit masih ada langit.

Dari kacamata materi (baca: kondisi ekonomi) saja, kedua keluarga itu bisa dibilang sama-sama keluarga berhasil. Lantas keluarga macam mana dianggap tidak atau belum berhasil? Barangkali - ambil contoh ekstrem - termasuk Keluarga Noyo, yang bersama istri dan keempat anaknya tinggal di sebuah gubuk di bantaran kali. Dengan penghasilan tak seberapa sebagai pengayuh becak, keluarga ini hanya sanggup makan sehari satu kali. Keempat anaknya mogol sekolah karena tak punya biaya.

Dari situ saja mudah ditebak kalau Keluarga Noyo tergolong keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, mengingat mereka belum mampu memenuhi kebutuhan dasar minimalnya mulai dari pangan, sandang, hingga papan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggolongkan kelompok ini sebagai keluarga prasejahtera. Mereka tidak sendiri karena secara nasional jumlah kelompok ini diperkirakan mencapai 19,4% sebelum krisis (1997), dan membengkak menjadi 23,2% di waktu krisis (1999/2000).

Itu masih belum seberapa. Jika jumlah itu ditambah dengan kelompok keluarga sejahtera I - yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimalnya tapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologis seperti pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi - jumlahnya menjadi 54% pada tahun 2000! Fantastik.

Memprihatinkan memang, apalagi kalau mengingat keadaan itu berpotensi menimbulkan berbagai kerawanan sosial.
Dalam konteks keluarga, seperti disebut Imam Hariyadi, deputi bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, BKKBN, disfungsi keluarga dikhawatirkan merebak dan menjadi kenyataan seperti hasil penelitian yang dilakukan LPKGM-UGM, Yogyakarta pada Februari 2001 di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian itu membeberkan bahwa keluarga tak lagi menjadi tempat yang aman bagi anggotanya. Wah!

”Rasa tak aman tinggal dalam keluarga merupakan salah satu indikasi awal bakal terjadinya disharmoni keluarga dan rapuhnya ketahanan dalam keluarga,” ungkap Imam Hariyadi. Padahal disadari, ketahanan keluarga makin penting ketika konflik antaretnik, agama, dan golongan cenderung makin bereskalasi.

Dari media massa kita bisa menyaksikan perkelahian atau tawuran antarpelajar, konflik politik, dan konflik berbasis SARA. Timbul kondisi yang kurang menguntungkan dalam keluarga, akibat meningkatnya angka perceraian dan terjadinya tindak kekerasan dalam keluarga. Kita juga bisa merasakan kecenderungan remaja yang mulai lekat dengan perilaku kehidupan bebas tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan agama. Masih banyak lagi yang bisa dicatat.

Sampai-sampai Prof. Dr. Winarno Surakhmad dalam suatu kesempatan - seperti dikutip Hariyadi - melontarkan pertanyaan, ”Benarkah bangsa ini tengah membangun di atas peradaban yang runtuh? Bukankah dari dulu kita dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi? Bukankah sejak dan selama merdeka, pada kita telah ditanamkan nilai-nilai berbangsa yang luhur dalam sebuah ideologi?”

”Sekarang persepsi positif itu sedang ditantang. Bahkan ditentang. Mengapa tiba-tiba di balik kebesaran itu muncul wajah yang begitu buruk dan antiperadaban? Apakah memang manusia Indonesia menyimpan kemampuan untuk sesaat muncul sebagai Dr. Jekyll, dan sesaat kemudian tampil sebagai Mr. Hyde?” ungkap Surakhmad, direktur The Alghazali Foundation, Education Consortium for Innovation and Quality Assessment (ECIQA).

Pertanyaannya kemudian, apakah itu merupakan indikasi gagalnya pendidikan (termasuk dalam keluarga) dalam membawa anak bangsa ke sebuah kehidupan yang lebih baik? Boleh saja kita mempertanyakan sejauh mana para pemimpin telah berhasil memberikan keteladanan, yang tak pelak memegang peran yang signifikan dalam suatu masyarakat patriarkhal. Namun terlepas dari itu, pendekatan pendidikan formal dan dalam keluarga tetap masih sahih untuk meningkatkan kualitas manusia, yang notabene anggota sebuah keluarga.

Konsep ”Keluarga Berkualitas”
Konsep keluarga kecil, bahagia, sejahtera (NKKBS) memang telah menjadi trade mark program Keluarga Berencana (KB) sejak dicanangkan pada 1970. Akan tetapi sasarannya lebih pada aspek demografis, yaitu menekan laju pertumbuhan penduduk. Kondisi kependudukan saat itu memang sangat mengkhawatirkan. Laju pertumbuhannya 2,34% dengan sekitar 5,6 kelahiran hidup per wanita. Rata-rata usia kawin di bawah 16 tahun.

Sasaran itu tercapai setelah program berjalan sekitar 30 tahun. Secara nasional angka kelahiran (total fertility rate, TFR) sudah mencapai angka 2,5. Bahkan di beberapa daerah, termasuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sudah mendekati angka 2 (1997). Artinya, setiap wanita Jakarta hanya melahirkan rata-rata dua anak. Pertumbuhan penduduk menurun sampai 1,35%. Kini negeri kita dihuni sekitar 207 juta warga (Biro Pusat Statistik; hasil sensus penduduk tahun 2000).

Sebuah prestasi yang mendapat pengakuan dunia lewat penghargaan di bidang kependudukan pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto.

Dari fakta itu tampak, kesadaran sebagian besar keluarga Indonesia untuk memiliki keluarga kecil (cukup dua anak, laki-laki atau perempuan sama saja) telah melembaga. Namun diakui, visi keluarga kecil belum dirasa cukup kalau aspek kualitas tidak disentuh. Yang ideal, tentu saja, keluarga kecil tapi berkualitas. Apalagi arus globalisasi - ibu kandung berbagai keterbukaan dan persaingan global di segala bidang - semakin tidak terbendung. Keluarga yang berkualitas menjadi kunci bagi sebuah bangsa untuk ikut berbicara dalam persaingan global di masa depan.

Sebagai salah satu anggota yang ikut menandatangani deklarasi International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada 1994, Indonesia terikat pada seluruh isi dari setiap rekomendasi dan rencana aksi yang dikeluarkan. Di bidang reproduksi, termasuk keluarga berencana dan kesehatan seksual, terjadi jurang perbedaan antara proporsi pemakai kontrasepsi dengan proporsi individu atau pasangan yang tidak menginginkan penundaan atau pembatasan anak. Untuk itu setiap negara anggota harus berupaya menutupi gap itu sedikitnya 50% sampai tahun 2005, 75% sampai dengan tahun 2010, dan 100% sampai dengan tahun 2015.

Atas dasar semua itu BKKBN melakukan reorientasi dan reposisi dengan visi baru, ”Keluarga Berkualitas 2015” yang dicanangkan sejak tahun 2000. ”Tujuannya menyiapkan keluarga, penduduk, masyarakat yang maju, mandiri dan berketahanan agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Orientasinya tidak lagi sekadar pendekatan demografis,” demikian Imam Hariyadi.

”Keluarga Berkualitas”, menurut definisi versi baru BKKBN, ialah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejahtera berarti sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehat mencakup sehat jasmani, rohani, dan sosial. Maju bermakna memiliki keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri dan keluarganya guna meningkatkan kualitasnya. Berjiwa mandiri diartikan memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku tidak tergantung pada orang lain.

Kemudian jumlah anak ideal ialah jumlah anak dalam keluarga yang diinginkan dan dianggap sesuai dengan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial. Berwawasan berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat secara sosial. Harmonis mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi di antara semua anggota keluarga. Yang terakhir, bertakwa berarti taat beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya.

Perlu indikator universal
Sebuah cita-cita yang sangat ideal kedengarannya namun menyimpan sejumlah kelemahan. Seperti diungkap Yulfita Raharjo (peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI), mestinya ada sejumlah indikator objektif yang bisa diukur dan diaplikasikan secara seragam (bahkan universal). Misalnya, status kesehatan, tingkat pendidikan, akses terhadap air bersih atau fasilitas publik. Sedangkan harmonis dan bertakwa yang lebih bersifat individual sulit diukur. Dia mengajukan usul, konsep keluarga berkualitas seyogianya diberi indikator yang bersifat universal dan terukur seperti itu tetapi tetap memberi ruang bagi keunikan dan kebiasaan setempat.

Yulfita Raharjo juga menyarankan, selain indikator objektif-ideal juga dikembangkan indikator subyektif yaitu seperti apa yang dipahami oleh individu. Misalnya, apa yang dimaksud dengan ”cukup”, ”rasa takut”, ”harmonis”, ”anak”, dsb. Pengembangan indikator ini, demikian Yulfita, sangat bermakna terutama jika dikombinasikan dengan indikator objektif-ideal demi pengembangan program (kesejahteraan keluarga) sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Kami tidak berpretensi untuk mengklaim bahwa apa yang kami sajikan itu interpretasi yang paling sahih. Jika diperas, semua itu cuma upaya mendekati harapan si kakek terhadap cucunya agar kelak ketika dewasa menjadi ”orang”. Barangkali Anda nanti bisa membantu menilai, itukah yang dimaksud kakek?
(idionline/Net)

Tidak ada komentar: